Cyberlaw adalah hukum yang
digunakan di dunia cyber (dunia maya) yang umumnya diasosiasikan dengan
internet. Cyberlaw merupakan aspek hukum yang ruang lingkupnya meliputi setiap
aspek yang berhubungan dengan orang perorangan atau subyek hukum yang
menggunakan dan memanfaatkan teknologi internet yang dimulai pada saat mulai
online dan memasuki dunia cyber atau maya. Cyberlaw sendiri merupakan istilah
yang berasal dari Cyberspace Law. Cyberlaw akan memainkan peranannya dalam
dunia masa depan, karena nyaris tidak ada lagi segi kehidupan yang tidak
tersentuh oleh keajaiban teknologi dewasa ini dimana kita perlu sebuah
perangkat aturan main didalamnya (virtual world).
Ruang
Lingkup Cyber Law
Jonathan
Rosenoer dalam Cyber Law – The Law Of Internet menyebutkan ruang lingkup cyber
law :
1. Hak Cipta (Copy Right)
2. Hak Merk (Trademark)
3. Pencemaran nama baik
(Defamation)
4. Fitnah, Penistaan, Penghinaan
(Hate Speech)
5. Serangan terhadap fasilitas
komputer (Hacking, Viruses, Illegal Access)
6. Pengaturan sumber daya internet
seperti IP-Address, domain name
7. Kenyamanan Individu (Privacy)
8. Prinsip kehati-hatian (Duty care)
9. Tindakan kriminal biasa yang
menggunakan TI sebagai alat Isu prosedural seperti yuridiksi, pembuktian, penyelidikan dan lain-lain.
10. Kontrak / transaksi elektronik
dan tanda tangan digital
11. Perangkat Hukum Cyber Law
12. Pornografi
13. Pencurian melalui Internet
14. Perlindungan Konsumen
15. Pemanfaatan internet dalam
aktivitas keseharianseperti e- commerce, e-government, e-education.
Perangkat
Cyberlaw
Pembentukan Cyberlaw tidak
lepas dari sinergi pembuat kebijakan cyberlaw (pemerintah) dan pengguna dunia
cyber dalam kaidah memenuhi etika dan kesepakatan bersama. Agar pembentukan
perangkat perundangan tentang teknologi informasi mampu mengarahkan segala aktivitas
dan transaksi didunia cyber sesuai dengan standar etik dan hukum yang
disepakati maka proses pembuatannya diupayakan dengan cara Menetapkan prinsip –
prinsip dan pengembangan teknologi informasi yaitu antara lain :
1. Melibatkan unsur yang terkait
(pemerintah, swasta, profesional).
2. Menggunakan pendekatan moderat
untuk mensintesiskan prinsip
3. Memperhatikan keunikan dari
dunia maya
4. Mendorong adanya kerjasama
internasional mengingat sifat internet yang global
5. Menempatkan sektor swasta
sebagai leader dalam persoalan yang menyangkut industri dan perdagangan.
6. Pemerintah harus mengambil
peran dan tanggung jawab yang jelas untuk persoalan yang menyangkut kepentingan
public.
7. Aturan hukum yang akan dibentuk
tidak bersifat restriktif melainkan harus direktif dan futuristik
8. Melakukan pengkajian terhadap
perundangan nasional yang memiliki kaitan langsung maupun tidak langsung dengan
munculnya persoalan hukum akibat transaksi di internet seperti : UU hak cipta,
UU merk, UU perlindungan konsumen, UU Penyiaran dan Telekomunikasi, UU
Perseroan Terbatas, UU Penanaman Modal Asing, UU Perpajakan, Hukum Kontrak,
Hukum Pidana dll.
Cyberlaw
tidak akan berhasil jika aspek yurisdiksi hokum diabaikan. Karena pemetaan yang
mengatur cyberspace menyangkut juga hubungan antar kawasan, antar wilayah, dan
antar negara, sehingga penetapan yuridiksi yang jelas mutlak diperlukan. Ada
tiga yurisdiksi yang dapat diterapkan dalam dunia cyber :
1. yurisdiksi legislatif di bidang
pengaturan,
2. yurisdiksi judicial, yakni
kewenangan negara untuk mengadili atau menerapkan kewenangan hukumnya,
3. yurisdiksi eksekutif untuk
melaksanakan aturan yang dibuatnya.
Kebijakan
IT di Indonesia
Ada
dua model yang diusulkan oleh Mieke untuk mengatur kegiatan di cyber space,
yaitu :
1. Model ketentuan Payung
(Umbrella Provisions), Model ini dapat memuat materi pokok saja dengan
memperhatikan semua kepentingan (seperti pelaku usaha, konsumen, pemerintah dan
pemegak hukum), Juga keterkaitan hubungan dengan peraturan perundang –
undangan.
2. Model Triangle Regulations
sebagai upaya mengantisipasi pesatnya laju kegiatan di cyber space. Upaya yang
menitikberatkan permasalahan prioritas yaitu pengaturan sehubungan transaksi
online, pengaturan sehubungan privacy protection terhadap pelaku bisnis dan
konsumen, pengaturan sehubungan cyber crime yang memuat yuridiksi dan
kompetensi dari badan peradilan terhadap kasus cyber space.
Dalam moderinisasi hukum
pidana, Mas Wigrantoro Roes Setiyadi dalam seminar cyber crime 19 maret 2003
mengusulkan alternatif :
1. Menghapus pasal – pasal dalam UU terkait
yang tidak dipakai lagi
2. Mengamandemen KUHP
3. Menyisipkan hasil kajian dalam RUU yang ada
4. Membuat RUU sendiri misalnya RUU Teknologi
Informasi
Upaya tersebut tampaknya telah
dilakukan terbukti dengan mulai disusunnya RUU KUHP yang baru (konsep tahun
2000).Di samping pembaharuan KHUP di Indonesia juga telah ditawarkan alternatif
menyusun RUU sendiri, antara lain RUU yang disusun oleh tim dari pusat kajian
cyber law UNPAD yang diberi title RUU TI draft III yang saat ini telah
disyahkan menjadi UUITE.